AIR BORNE DISEASE


TUBERKULOSIS
1. Identifikasi
Penyakit yang disebabkan oleh mikrobakterium ini merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian hampir di sebagian besar negara di seluruh dunia. Penyakit ini merupakan penyakit menahun/kronis (berlangsung lama) dan menular. Penyakit ini dapat diderita oleh setiap orang, tetapi paling sering menyerang orang-orang yang berusia antara 15 – 35 tahun, terutama mereka yang bertubuh lemah, kurang gizi atau yang tinggal satu rumah dan berdesak-desakan bersama penderita TBC. Lingkungan yang lembap, gelap dan tidak memiliki ventilasi memberikan andil besar bagi seseorang terjangkit TBC. Penyakit TBC paru-paru dapat disembuhkan. Namun karena kekurangpekaan si penderita dan kurangnya informasi berkaitan cara pencegahan dan pengobatan TBC, kematian pun tak jarang terjadi. Oleh karena itu dibutuhkan tindakan dini untuk mencegah dan mengobati penyakit TBC.

2. Penyebab Penyakit
Penyebab infeksi adalah kompleks M. tuberculosis. Kompleks ini termasuk M. tuberculosis dan M. africanum terutama berasal dari manusia dan M. bovis yang berasal dari sapi. Mycobacteria lain biasanya menimbulkan gejala klinis yang sulit dibedakan dengan tuberkulosis. Etiologi penyakit dapat di identifikasi dengan kultur. Analisis genetic sequence dengan menggunakan teknik PCR sangat membantu identifikasi non kultur.

3. Tanda-Tanda Penyakit TBC
- Batuk lebih dari empat minggu. Pengobatan biasa yang dilakukan seperti biasa tak mampu meredakan frekuensi batuk.
- Batuk menahun dan berlendir, terutama waktu bangun tidur.
- Panas ringan (sumeng-sumeng) pada sore hari dan berkeringat pada malam hari.
- Terdapat rasa sakit pada dada atau punggung atas.
- Berat badan turun dan badan semakin lemah dalam beberapa tahun berurutan.
- Pada anak-anak sering kali dapat diraba di tepi kanan atau kirinya terdapat benjolan (pembengkakan kelenjar-kelenjar).

4. Distribusi Penyakit
Tersebar diseluruh dunia. Pada awalnya di Negara industri penyakit tuberkulosis menunjukkan kecenderungan yang menurun baik mortalitas maupun morbiditasnya selama beberapa tahun, namun diakhir tahun 1980an jumlah kasus yang dilaporkan mencapai grafik mendatar (plateau) dan kemudian meningkat di daerah dengan populasi yang prevalensi HIV–nya tinggi dan di daerah yang dihuni oleh penduduk yang datang dari daerah dengan prevalensi TB tinggi. Mortalitas dan morbiditas meningkat sesuai dengan umur, pada orang dewasa lebih tinggi pada laki-laki. Morbiditas TBC lebih tinggi diantara penduduk miskin dan daerah perkotaan jika dibandingkan dengan pedesaan.

5. Reservoir
Umumnya manusia berperan sebagai reservoir, jarang sekali primata, dibeberapa daerah terjadi infeksi yang menyerang ternak seperti sapi, babi dan mamalia lain.

6. Cara Penyebaran
Penularan terjadi melalui udara yang mengandung basil TB dalam percikan ludah yang dikeluarkan oleh penderita TB paru atau TB laring pada waktu mereka batuk, bersin atau pada waktu bernyanyi. Petugas kesehatan dapat tertulari pada waktu mereka melakukan otopsi, bronkoskopi atau pada waktu mereka melakukan intubasi. TB laring sangat menular. Kontak jangka panjang dengan penderita TB menyebabkan risiko tertulari, infeksi melalui selaput lendir atau kulit yang lecet bisa terjadi namun sangat jarang. TB bovinum penularannya dapat tejadi jika orang terpajan dengan sapi yang menderita TB, bisanya karena minum susu yang tidak dipasteurisasi atau karena mengkonsumsi produk susu yang tidak diolah dengan sempurna. Penularan lewat udara juga terjadi kepada petani dan perternak TB ekstra pulmoner (selain TB laring) biasanya tidak menular, kecuali dari sinus keluar discharge.

7. Masa inkubasi
Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau reaksi tes tuberkulosis positif kira-kira memakan waktu 2 – 10 minggu. Risiko menjadi TB paru dan TB ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer biasanya terjadi pada tahun pertama dan kedua. Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV meningkatkan risiko terhadap infeksi TB dan memperpendek masa inkubasi.

8. Masa Penularan
Secara teoritis seorang penderita tetap menular sepanjang ditemukan basil TB di dalam sputum mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak sempurna dahaknya akan tetap mengandung basil TB selama bertahun tahun. Tingkat penularan sangat tergantung pada hal-hal sebagai berikut :
- Jumlah basil TB yang dikeluarkan
- Virulensi dari basil TB
- Terpajannya basil TB dengan sinar ultra violet
- Terjadinya aerosolisasi (batuk, bersin, bicara atau bernyanyi).
- Tindakan medis dengan risiko tinggi (otopsi, intubasi atau bronkoskopi).

9. Kerentanan dan Kekebalan
Risiko terinfeksi dengan basil TB berhubungan langsung dengan tingkat pajanan dan tidak ada hubungan dengan faktor keturunan atau faktor lainnya pada pejamu. Periode yang paling kritis timbulnya gejala klinis adalah 6–12 bulan setelah infeksi. Risiko untuk menjadi sakit paling tinggi pada usia dibawah 3 tahun dan paling rendah pada usia akhir masa kanak-kanak dan risiko meningkat lagi pada usia adolesen dan dewasa muda, usia tua dan pada penderita dengan kelainan sistem imunitas. Reaktivasi dari infeksi laten yang berlangsung lama sebagian besar terjadi pada penderita TB usia lebih tua. Untuk mereka yang terinfeksi oleh basil TB kemungkinan berkembang menjadi TB klinis meningkat pada penderita HIV/AIDS, mereka dengan kelainan sistem imunitas, mereka dengan berat badan rendah dan kekurangan gizi, penderita dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal kronis, penderita kanker, silikosis, diabetes, postgastrektomi, pemakai NAPZA. Orang dewasa dengan TB laten yang juga disertai dengan infeksi HIV kemungkinan untuk menderita TB klinis selama hidupnya berkisar antara 10% sampai dengan 60–80%. Interaksi kedua penyakit ini mengakibatkan terjadinya pandemi paralel dari penyakit TB.

10. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara-cara pencegahan
1). Temukan semua penderita TB dan berikan segera pengobatan yang tepat. Sediakan fasilitas untuk penemuan dan pengobatan penderita.
2). Sediakan fasilitas medis yang memadai seperti laboratorium dan alat rontgen agar dapat melakukan diagnosa dini terhadap penderita, kontak dan tersangka. Sediakan juga fasilitas pengobatan terhadap penderita dan mereka dengan risiko tinggi terinfeksi; sediakan fasilitas tempat tidur untuk mereka yang perlu mendapatkan perawatan.
3). Beri penyuluhan kepada masyarakat tentang car-cara penularan dan cara-cara pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini.
4). Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi risiko terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian.
5). Program pemberantasan TB harus ada di seluruh fasilitas kesehatan dan di fasilitas dimana penderita HIV/penderita imunosupresi lainnya ditangani (di Rumah Sakit, tempat rehabilitasi, pemakai Napza, panti asuhan anak terlantar).
6). Pemberian INH sebagai pengobatan preventif.
7). Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan di luar institusi untuk penderita yang mendapatkan pengobatan dengan sistem (DOPT/DOTS) dan sediakan juga fasilitas pemeriksaan dan pengobatan preventif untuk kontak.
8). Terhadap mereka yang diketahui terkena infeksi HIV segara dilakukan tes Mantoux menggunakan PPD kekuatan sedang. Jika tes Mantouxnya positif (indurasi ± 5mm) maka segera diberikan pengobatan profilaktik, dengan catatan bahwa yang bersangkutan tidak menderita TB aktif. Sebaliknya terhadap semua penderita TB aktif harus dilakukan pemeriksaan dan dilakukan konseling jika fasilitas untuk itu tersedia.
9). Pemberian imunisasi BCG terhadap mereka yang tidak terinfeksi TB (tes tuberkulin negatif), lebih dari 90% akan memberikan hasil tes tuberkulin positif.
10). Lakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang menderita TB bovinum dengan cara menyembelih sapi-sapi yang tes tuberkulinnya positif. Susu dipasteurisasi sebelum dikonsumsi.
11). Lakukan upaya pencegahan terjadinya silikosis pada pekerja pabrik dan tambang.

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1). Laporkan segera kepada instansi kesehatan setempat jika ditemukan penderita TB atau yang diduga menderita TB.
2). Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan spesifik sesegera mungkin.
3). Pencegahan infeksi: Cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah harus dipertahankan sebagai kegiatan rutin. Tidak ada tindakan pencegahan khusus untuk barang-barang (piring, sprei, pakaian dan lainnya). Dekontaminasi udara dengan cara ventilasi yang baik dan bisa ditambahkan dengan sinar UV.
4). Penanganan kontak.
5). Investigasi kontak, sumber penularan dan sumber infeksi: Tes PPD direkomendasikan untuk seluruh anggota keluarga bila ada kontak. Bila hasil negatif harus diulang 2-3 bulan kemudian. Lakukan X-ray bila ada gejala yang positif. Terapi preventif bila ada reaksi positif dan memiliki risiko tinggi terjadi TBC aktif (terutama untuk anak usia 5 tahun atau lebih) dan mereka yang kontak dengan penderita HIV (+), diberikan minimal sampai skin tes negatif.
6). Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif dalam pengobatan TBC (sistem DOPT atau DOTS “Directly Observed Treatment Shortcourse”).

C. Tindakan penanggulangan wabah
Tingkatkan kewasapadaan dini untuk menemukan dan mengobati penderita TBC baru yang tertulari oleh penderita yang tidak jelas. Lakukan penyelidikan intensif untuk menemukan dan mengobatai sumber penularan.

D. Tindakan Internasional
Tindakan yang dianjurkan bagi imigran yang datang dari negara-negara dengan prevalensi TBC tinggi adalah melakukan skrining dengan foto thorax, tes PPD, pemeriksaan BTA dan kultur terhadap orang dengan tes PPD positif yang disertai gejala klinis. Manfaatkan pusat-pusat kerjasama WHO.

DAFTAR PUSTAKA
Nyoman Kandun “Manual Pemberantasan Penyakit Menular”
http://www.anneahira.com/pencegahan-penyakit/paru-paru.htm


HARINTA DWI SEPTIANA
E2A009130
REGULER 1, 2009
MAHASISWA FKM, UNDIP

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

FOOD AND WATER BORNE DISEASE

BOTULISME

1. Identifikasi
Ada 3 bentuk botulisme, yaitu yang di tularkankan melalui makanan (bentuk klasik) dan yang ditularkan melalui, luka dan saluran pencernaan (bayi dan dewasa). Foodborne botulisme adalah keracunan berat yang diakibatkan karena menelan racun yang terbentuk di dalam makanan yang terkontaminasi. Penyakit ini ditandai dengan gangguan nervus cranialis bilateral akut dan melemahnya anggota tubuh disertai kelumpuhan. Gangguan visual (kabur dan dobel), disfagia dan mulut kering sering merupakan keluhan pertama. Gejala-gejala ini bisa meluas berupa layuh simetris pada orang yang waspada akan gejala-gejala ini. Muntah dan konstipasi atau diare mungkin muncul pada awalnya. Demam tidak terjadi bila tidak ada komplikasi Infeksi lain. Untuk jenis Botulisme luka, gambaran klinis yang sama terlihat pada saat organisme penyebab mengkontaminasi luka dalam kondisi anaerob. Sedangkan botulisme saluran pencernaan (bayi) muncul akibat menelan spora Clostridium botulinum kemudian tumbuh berkembang dan memproduksi racun pada usus besar. Botulisme saluran pencernaan ini secara spesifik menyerang bayi dibawah 1 tahun, tetapi dapat juga menyerang orang dewasa yang mempunyai kelainan anatomi saluran pencernaan serta terjadinya perubahan flora usus. Gejala klinis khas dimulai dengan konstipasi, diikuti dengan letargi, tidak nafsu makan, listlessness, ptosis, susah menelan, kehilangan kontrol gerakan kepala, hipotonia dan menjurus kepada keadaan lemah secara menyeluruh (floppy baby) dan pada beberapa kasus, terjadi kesulitan bernapas sampai gagal nafas. Botulisme pada bayi mempunyai spektrum klinis luas, mulai dari sakit ringan dengan onset bertahap hingga kematian mendadak; beberapa penelitian menemukan bahwa penyakit ini merupakan penyebab terjadinya 5% sindroma kematian mendadak (Sudden Infant Death Syndrome/SIDS). Diagnosa dari botulisme yang ditularkan melalui makanan ditegakkan dengan menemukan racun botulinum dalam serum, tinja, cairan lambung atau makanan yang tercemar; atau dari kultur C. botulinum cairan lambung atau tinja penderita. Menemukan organisme dari makanan yang dicurigai cukup membantu, tetapi biasanya tidak punya nilai diagnostik karena spora ada dimana-mana, menemukan racun botulinum pada makanan yang terkontaminasi lebih bermanfaat.

2. Penyebab penyakit
Botulisme yang ditularkan melalui makanan disebabkan oleh racun yang diproduksi oleh Clostridium botulinum, spora membentuk basil anaerob. Beberapa nanogram dari racun dapat menyebabkan sakit. Kebanyakan KLB pada manusia terjadi karena tipe A, B, E dan jarang karena tipe F. Tipe G pernah diisolasi dari tanah dan dari specimen otopsi, tetapi perannya sebagai penyebab botulisme belum jelas. KLB tipe E biasanya berhubungan dengan konsumsi ikan, ikan laut dan daging mamalia laut.
Racun diproduksi karena proses pengalengan yang tidak tepat, makanan basa, makanan yang dipasturisasi dan makanan yang diolah sembarangan dan disimpan tanpa menggunakan pendingin, terutama dengan pengepakan kedap udara. Racun dihancurkan dengan cara direbus, untuk menonaktifkan spora dibutuhkan suhu yang lebih tinggi. Racun tipe E dapat diproduksi pada suhu serendah 3oC (37,4oF), suhu yang lebih rendah dari suhu lemari es. Banyak kasus botulisme anak disebabkan karena tipe A atau B. Beberapa kasus (racun tipe E dan F) dilaporkan berasal dari spesies clostridium neurotoksigenik, seperti C. butyricum dan C. baratii.

3. Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia, secara sporadis. KLB yang terjadi didalam keluarga dan masyarakat terutama terjadi karena produk makanan dibuat dengan cara-cara yang tidak menghancurkan spora dan memberi peluang terbentuknya racun. Botulisme jarang diakibatkan oleh produk komersial; KLB terjadi karena kontaminasi melalui kaleng yang rusak selama proses pengalengan.

4. Reservoir
Spora tersebar di atas tanah di seluruh dunia, kadang-kadang ditemukan pada produk pertanian termasuk madu. Spora juga ditemukan pada lapisan sedimen di dasar laut dan di saluran pencernaan binatang, termasuk ikan.

5. Cara penularan
Mengkonsumsi makanan yang mengandung toksin botulinum akan mengakibatkan Botulisme terutama karena makanan tersebut tidak dimasak dengan suhu yang cukup tinggi selama pengawetan atau tidak dimasak sebelum dikonsumsi. Beberapa KLB yang baru-baru ini terjadi setelah mengkonsumsi ikan yang tidak dibersihkan ususnya. Kasus botulisme juga pernah dilaporkan terjadi sehabis makan kentang panggang dan potpies yang tidak ditangani dengan baik. KLB yang terjadi baru-baru ini dilaporkan sehabis memakan bawang merah, dua lainnya adalah sehabis mengkonsumsi acar dan bawang putih dalam minyak. Sayuran lain seperti tomat, yang sebelumnya di anggap terlalu asam untuk berkembang biaknya C. botulinum, ternyata dapat menjadi ancaman sebagai sumber keracunan makanan yang dikalengkan di rumah. Sumber spora bagi anak-anak berasal dari berbagai sumber termasuk makanan dan debu. Madu, yang diberikan pada bayi, dapat mengandung spora C. botulinum.

6. Masa inkubasi.
Gejala neurologis dari botulisme yang ditularkan oleh makanan biasanya muncul dalam 12 – 36 jam, kadang-kadang beberapa hari, sesudah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi. Pada umumnya, semakin pendek masa inkubasi, semakin berat penyakitnya dan semakin tinggi CFR-nya. Masa inkubasi dari botulisme saluran pencernaan pada bayi tidak diketahui, karena kapan saat bayi menelan makanan yang terkontaminasi tidak diketahui.

7. Masa penularan.
Walaupun Racun C. botulisnum dan bakterinya dikeluarkan bersama tinja pada kadar yang tinggi (ca. 106 organisme/g) oleh pasien botulisme saluran pencernaan selama beberapa minggu hingga berbulan-bulan sesudah onset penyakit, namun tidak ada bukti terjadi penularan dari orang ke orang. Pasien Botulisme yang ditularkan melalui makanan biasanya mengeluarkan racun dan bakteri dalam jangka waktu yang lebih pendek.

8. Kekebalan dan kerentanan.
Semua orang rentan. Hampir semua pasien dengan botulisme pencernaan yang di rawat dirumah sakit berusia antara 2 minggu dan 1 tahun; 94 % berusia kurang dari 6 bulan, dan median umur penderita adalah 13 minggu. Kasus botulisme saluran pencernaan terjadi di semua ras dan kelompok etnik. Orang dewasa yang mempunyai gangguan buang air besar yang mengarah pada gangguan flora usus (atau flora usus yang secara tidak sengaja terganggu karena pengobatan antibiotik untuk tujuan lain) bisa rentan mengidap botulisme saluran pencernaan.

9. Cara pemberantasan.
A. Tindakan pencegahan
1). Lakukan pengawasan yang ketat terhadap proses pengolahan makanan dalam kaleng serta makanan yang diawetkan lainnya.
2). Beri penyuluhan (teknik pengolahan dan penyimpanan) kepada mereka yang bekerja pada proses pengolahan makanan, baik pengolahan makanan kaleng rumah tangga maupun kepada mereka yang bekerja pada proses pengawetan makanan.
3). Wadah yang menggembung sebaiknya tidak dibuka, dan makanan yang berbau sebaiknya tidak dimakan atau dicicipi. Makanan kaleng yang sudah menggembung sebaiknya dikembalikan ke penjualnya tanpa dibuka.
4). Walaupun spora C. botulinum dapat dijumpai dimana saja, makanan yang diketahui tercemar seperti madu, sebaiknya tidak diberikan kepada bayi.

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat.
2). Cuci tangan sesudah menangani popok yang tercemar.
3). Disinfeksi serentak: makanan yang tercemar sebaiknya didetoksifikasi dengan cara merebusnya sebelum dibuang; atau wadahnya dihancurkan dan di kubur dalam-dalam di dalam tanah untuk mencegah makanan tersebut dimakan oleh binatang. Barang-barang yang terkontaminasi sebaiknya disterilisasi dengan cara merebus atau dengan disinkfeksi klorin untuk menonaktifkan racun yang tersisa. Lakukan pembuangan tinja yang saniter dari penderita bayi. Pembersihan terminal.
4). Terhadap mereka yang diketahui telah mengkonsumsi makanan yang tercemar harus diberi pencahar, dilakukan lavage lambung dan enema tinggi dan di observasi dengan ketat.
5). Investigasi kontak dan sumber racun: selidiki makanan apa yang dikonsumsi oleh penderita, kumpulkan semua makanan yang dicurigai untuk pemeriksaan laboratorium yang semestinya dan kemudian dimusnahkan dengan cara yang benar. Cari kasus-kasus tambahan untuk memastikan bahwa telah terjadi KLB botulisme yang ditularkan oleh makanan.
6). Pengobatan spesifik: jika terjadi botulisme berikan sesegera mungkin 1 vial antiracun botulinum polyvalent (AB atau ABE) intravena.

C. Penanggulangan wabah.
Bila terjadi kasus botulisme, sebaiknya segera diteliti apakah telah terjadi KLB yang menimpa keluarga atau orang-orang lain yang mengkonsumsi makanan yang sama. Makanan yang diawetkan dan dikalengkan dalam industri rumah tangga dan dicurigai tercemar sebaiknya disingkirkan. Walaupun makanan dari restoran atau makanan olahan komersial yang didistribusikan secara luas, kadang-kadang terbukti sebagai sumber keracunan, dan ini jauh lebih mengancam kesehatan masyarakat. Pada saat produk makanan tertentu terbukti tercemar melalui pemeriksaan laboratorium atau melalui penyelidikan epidemiologis, maka produk makanan tersebut harus ditarik segera dan lacak orang-orang yang mengkonsumsi makanan yang sama dan makanan yang tersisa dari produk yang sama. Sisa makanan dari produk yang sama mungkin tercemar, dan jika ditemukan harus dikirim untuk pemeriksaan laboratorium. Kumpulan sera dan cairan lambung serta tinja dari pasien, atau bila perlu dari orang yang terpajan tetapi tidak sakit dan dikirim segera ke laboratorium yang telah di tunjuk sebelum orang-orang ini diberi antitoksin.

D. Tindakan internasional :
Produk komersial biasanya di pasarkan secara luas, oleh karena itu perlu ada upaya internasional untuk menemukan dan menguji makanan yang tercemar. KLB Common Source lintas batas negara pernah terjadi oleh karena distribusi produk makanan yang tercemar sangat luas.

E. Tindakan bioterorisme :
Toksin botulinum dapat dengan mudah digunakan oleh teroris, walaupun ancaman terbesar adalah melalui udara, ancaman yang lebih mudah adalah melalui makanan dan minuman. Kejadian keracunan botulisme, walaupun hanya satu kasus, bila tidak ditemukan sumber yang jelas, yaitu makanan yang tidak ditangani dengan baik, sebaiknya dicurigai kemungkinan adanya penggunaan racun botulinum secara sengaja. Semua kasus seperti ini harus segera dilaporkan kepada pihak yang berwajib sehingga investigasi yang tepat dapat dilakukan secepatnya.
10. Pengobatan
Orang yang mengalami botulisme harus pergi ke rumah sakit segera. Tes laboratorium untuk memastikan diagnosa dilakukan, tetapi pengobatan seringkali tidak dapat ditunda sampai hasilnya diketahui. Untuk membantu menghilangkan berbagai racun yang tidak dapat diserap, dokter bisa memberi arang aktif melalui mulut atau melalui pipa yang dimasukkan ke dalam perut.

Tanda vital (detak, tingkat pernafasan, tekanan darah, dan suhu) diukur dengan sering. Jika masalah pernafasan terjadi, orang dipindahkan ke ruang perawatan intensif dan kemungkinan secara sementara diletakkan pada ventilator. Beberapa pengobatan telah mengurangi presentase kematian disebabkan botulisme dari sekitar 70% pada awal 1900 sampai kurang dari 10%.
Zat yang menyumbat aksi racun (antitoxin) diberikan segera mungkin setelah botulisme telah didiagnosa. Hal ini lebih mungkin untuk membantu jika diberikan dalam 72 jam ketika gejala-gejala terjadi. Antitoxin bisa memperlambat atau menghentikan kemunduran fisik lebih lanjut, sehingga tubuh bisa sembuh dengan sendirinya lebih dari jangka waktu sebulan. Meskipun begitu, antitoxin tidak dapat membatalkan kerusakan siap dilakukan. Juga, beberapa orang mengalami reaksi alergi serius (anaphylactic)terhadap antitoxin, yang diperoleh dari serum kuda, atau terbentuk serum penyakit. Antitoxin tidak dianjurkan untuk botulisme bayi, tetapi digunakan pada botulisme immune globulin (diperoleh dari darah pada orang yang diimunisasi melawan botulisme) pada bayi akan dipelajari. Orang bisa memerlukan untuk diberi makan melalui pipa pembuluh darah. Bayi bisa memerlukan untuk diberi makan melalui pipa palstik makanan tipis (pipa nasogastric)dilewati melalui hidung dan turun ke tenggorokan.
Beberapa orang yang sembuh dari botulisme merasa lelah dan nafas pendek untuk setahun ke depan. Mereka bisa memerlukan terapi fisik jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA
Nyoman Kandun “Manual Pemberantasan Penyakit Menular”
http://medicastore.com/penyakit/3258/Botulisme.html



HARINTA DWI SEPTIANA
E2A009130
REGULER 1, 2009
MAHASISWA FKM, UNDIP

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Wabah / Kejadian Luar Biasa (KLB)

Wabah / Kejadian Luar Biasa (KLB)
Wabah penyakit menular yang selanjutnya disebut wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan mala petaka ( UU RI No. 4/1984 tentang wabah penyakit menular ).Wabah berarti penyakit menular yang berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah besar orang di daerah yang luas ( Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).Wabah adalah peningkatan kejadian kesakitan atau kematian yang telah meluas secara cepat, baik jumlah kasusnya maupun daerah terjangkit (Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman 1981).
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis dalam kurun waktu dan daerah tertentu (Kep. Dirjen PPM&PLP No.451-I/PD.03.04/1991_ Pedoman Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan KLB).

Batasan KLB meliputi arti yang luas :
1. Meliputi semua kejadian penyakit, dapat suatu penyakit infeksi akut kronis ataupun penyakit non infeksi.
2. Tidak ada batasan yang dapat dipakai secara umum untuk menentukan jumlah penderita yang dapat dikatakan sebagai KLB. Hal ini selain karena jumlah kasus sangat tergantung dari jenis dan agen penyebabnya, juga karena keadaan penyakit akan bervariasi menurut tempat (tempat tinggal, pekerjaan) dan waktu (yang berhubungan dengan keadaan iklim) dan pengalaman keadaan penyakit tersebut sebelumnya.
3. Tidak ada batasan yang spesifik mengenai luas daerah yang dapat dipakai untuk menentukan KLB, apakah dusun, desa, kecamatan, kabupaten atau meluas satu propinsi dan negara. Luasnya daerah sangat tergantung dari cara penularan penyakit tersebut.
4. Waktu yang digunakan untuk menentukan KLB juga bervariasi. KLB dapat terjadi dalam beberapa jam, beberapa hari atau minggu atau beberapa bulan maupun tahun.

Kriteria suatu peristiwa dikatakan Kejadian Luar Biasa ( KLB )
1. Timbulnya suatu penyakit/menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya
3. Peningkatan kejadian/kematian ≥ 2 x dibandingkan dengan periode sebelumnya
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan ≥ 2 x bila dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya
5. Angka rata-rata per bulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan ≥ 2 x dibandingkan angka rata-rata per bulan dari tahun sebelumnya
6. CFR suatu penyakit dl suatu kurun waktu tertentu menunjukkkan kenaikan 50% atau lebih dibanding CFR periode sebelumnya
7. Proporsional Rate penderita baru dr suatu periode ttt menunjukkan kenaikan ≥ 2 x dibandingkan periode yg sama dan kurun waktu/tahun sebelumnya
8. Beberapa penyakit khusus: Kholera,/DHF/DSS:
• Setiap peningkatan kasus dari periode sebelum nya (pada daerah andemis)
• Terdapat satu/lebih penderita baru dimana pd periode 4 minggu sebelumnya daerah tsb dinyatakan bebas dari penyakit tsb.
9. Beberapa penyakit yang di alami 1 atau lebih penderita :
• Keracunan makanan
• Keracunan pestisida

Kekebalan Herd (atau kekebalan masyarakat)

Menjelaskan bentuk kekebalan yang terjadi ketika vaksinasi dari sebagian besar dari penduduk (atau kelompok) memberikan ukuran perlindungan bagi individu yang belum mengembangkan kekebalan. Teori kekebalan Herd menyatakan bahwa, dalam penyakit menular yang ditularkan dari individu ke individu, rantai infeksi mungkin akan terganggu ketika sejumlah besar populasi kebal terhadap penyakit. The greater the proportion of individuals who are immune, the smaller the probability that a susceptible individual will come into contact with an infectious individual. Semakin besar proporsi individu yang kebal, semakin kecil kemungkinan bahwa individu rentan akan datang ke dalam kontak dengan individu menular.

Vaksinasi bertindak sebagai semacam firebreak atau firewall dalam penyebaran penyakit, memperlambat atau mencegah penularan lebih lanjut dari penyakit ini kepada orang lain. Tidak divaksinasi individu secara tidak langsung dilindungi oleh individu divaksinasi, karena yang terakhir tidak akan kontrak dan menularkan penyakit antara dan rentan individu yang terinfeksi. Oleh karena itu, kebijakan kesehatan masyarakat imunitas kawanan dapat digunakan untuk mengurangi penyebaran penyakit dan menyediakan tingkat perlindungan dengan tidak divaksinasi, sub kelompok rentan. Karena hanya sebagian kecil dari populasi (atau kelompok) dapat dibiarkan tidak divaksinasi untuk metode ini menjadi efektif, dianggap terbaik tersisa untuk mereka yang tidak dapat dengan aman menerima vaksin karena kondisi medis seperti gangguan kekebalan atau untuk transpalantasi organ penerima .

Proporsi individu kekebalan pada populasi di atas yang penyakit yang mungkin tidak lagi bertahan adalah kawanan ambang kekebalan. Nilainya bervariasi dengan virulensi penyakit, efektivitas vaksin, dan parameter kontak untuk penduduk. Tidak ada vaksin menawarkan perlindungan yang lengkap, tapi penyebaran penyakit dari orang ke orang jauh lebih tinggi pada mereka yang tetap tidak divaksinasi. Ini adalah Tujuan umum dari mereka yang terlibat dalam kesehatan masyarakat untuk membentuk kekebalan pada populasi ternak yang paling. Komplikasi muncul ketika vaksinasi luas adalah tidak mungkin atau bila vaksin ditolak oleh sebagian penduduk. Pada tahun 2009 [update] , kekebalan kelompok terganggu di beberapa daerah untuk beberapa-penyakit dapat dicegah vaksin, termasuk pertusis dan campak dan gondok , sebagian karena penolakan orangtua vaksinasi. Herd imunitas tidak harus bingung dengan kekebalan kontak , sebuah konsep terkait dimana sebuah divaksinasi individu dapat 'menularkan' vaksin ke seseorang lainnya melalui kontak.

Pelacakan Kejadian Luar Biasa

1. Garis Besar Pelacakan Wabah/Kejadian Luar Biasa
Keberhasilan pelacakan wabah sangat ditentukan oleh berbagai kegiatan khusus. Pengumpulan data dan informasi secara seksama langsung di lapangan atau tempat kejadian, yang disusul dengan analisis data yang teliti dengan ketajaman pemikiran merupakan landasan dari suatu keberhasilan pelacakan.

2. Analisis Situasi Awal
Pada tahap awal pelacakan suatu situasi yang diperkirakan bersifat wabah atau kejadian luar biasa, diperlukan tiga kegiatan awal, yaitu :

a. Penentuan / penegakan diagnosis
Untuk kepentingan diagnosis maka diperlukan penelitian/pengamatan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Harus diamati secara tuntas apakah laporan awal yang diperoleh sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (perhatikan tingkat kebenarannya). Selain itu, harus pula ditetapkan kapan seseorang dapat dinyatakan sebagai kasus. Dalam hal ini sangat tergantung pada keadaan dan jenis masalah yang dihadapi.

b. Penentuan adanya wabah
Untuk menentukan apakah situasi yang dihadapi adalah wabah atau tidak, maka perlu diusahakan melakukan perbandingan keadaan jumlah kasus sebelumnya untuk melihat apakah terjadi kenaikan frekuensi yang istimewa atau tidak.

c. Uraian keadaan wabah
Bila keadaan dinyatakan wabah harus dilakukan penguraian keadaan wabah bedasarkan tiga unsur utama yaitu waktu, tempat dan orang.

i. Gambaran wabah berdasarkan waktu

1. Kurve Epidemi
Adalah gambar perjalanan suatu letusan, berupa histogram dari jumlah kasus berdasarkan waktu timbulnya gejala pertama. Untuk membuatnya dibutuhkan informasi tentang waktu timbulnya gejala pertama. Misalnya, tanggal timbulnya gejala pertama, jam timbulnya gejala pertama, untuk masa inkubasi sangat pendek

Manfaat kurva epidemi
• Mendapatkan Informasi tentang perjalanan wabah dan kemungkinan kelanjutan
• Bila penyakit dan masa inkubasi diketahui, dapat memperkirakan kapan pemaparan terjadi dengan memusatkan penyelidikan pada periode tersebut
• Kesimpulan pola kejadian -- apakah bersumber tunggal, ditularkan dari orang ke orang, atau campuran keduanya
2. Perjalanan Wabah
a. kurve menanjak: jumlah kasus terus bertambah, wabah sedang memuncak, akan ada kasus-kasus baru

b. Puncak kurve sudah dilalui: kasus yang terjadi semakin berkurang, wabah akan segera berakhir.

c. Mencari Periode pemaparan
Pada point source epidemic -- penyakit dan masa inkubasi diketahui, kurve epidemic dapat digunakan untuk mencari periode pemaparan -- penting menanyakan sumber letusan

ii. Gambaran wabah berdasarkan tempat
• Memberikan informasi tentang luasnya wialyah yang terserang
• Menggambarkan pengelompokkan atau pola lain ke arah penyebab
• Berupa: Spot map atau area map
• Spot map: peta sederhana yang berguna untuk menggambarkan tempat para penderita tinggal, bekerja, atau kemungkinan terpapar
• Area map: menunjukkan insidens atau distribusi kejadian pada wilayah dengan kode/ arsiran
• Mencantumkan angka serangan (rate) untuk masing-masing wilayah
iii. Gambaran wabah berdasarkan orang

a. Umur

Umur merupakan salah satu faktor yang menentukan penyakit, karena mempengaruhi:
• Daya tahan tubuh
• Pengalaman kontak dengan penyakit
• Lingkungan pergaulan yang memungkinkan kontak dengan sumber penyakit
b. Jenis Kelamin; Ras/ suku; dsb.
1. Faktor-faktor ini digambarkan apabila diduga ada perbedaan risiko diantara golongan-golongan dalam faktor tsb.
2. Di negara-negara multirasial, gambaran penderita berdasarkan ras sering ditampilkan. Adanya perbedaan cara hidup, tingkat sosial ekonomi, kekebalan, dsb.
c. Berdasarkan pemaparan:
• Pekerjaan
• Rekreasi
• Penggunaan obat-obatan
3. Analisis Lanjutan

Setelah melakukan analisis awal dan menetapkan adanya situasi wabah, maka selain tindak pemadaman wabah, perlu dilakukan pelacakan lanjut serta analisis berkesinambungan yaitu :

a. Usaha penemuan kasus tambahan

Ditelusuri kemungkinan adanya kasus yang tidak dikenal dan kasus yang tidak dilaporkan. Dengan cara mengadakan pelacakan ke rumah sakit dan ke dokter praktek umum setempat dan pelacakan yang itensif adanya gejalaatau yang kontak dengan penderita.

b. Analisis data

Melakukan analisis data secara berkesinambungan sesuai tambahan informasi yang didapatkan dan laporkan hasil intrepesi data tersebut.

c. Menegakkan hepotesis

Hasil analisis dari seluruh kegiatan dibuat keputusan yang bersifat hipotesis tentang keadaan yang diperkirakan. Kesimpulan dari semua fakta yangditemukan harus sesui dengan apa yang tercantum dalam hipotesis.

d. Tindak pemadaman wabah dan tindak lanjut

Tindakan diambil berdasarkan hasil analisis dan sesuai dengan keadaan wabah yang terjadi. Setiap tindakan pemadaman wadah harus disertai dengan berbagai tindak lanjut (follow up) sampai keadaan sudah normal kembali. Biasanya kegiatan tindak lanjut dan pengamatan dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali masa tunas penyakit yang mewabah.

Pencegahan terjadinya wabah/KLB adalah :

1. Pencegahan tingkat pertama
• Menurunkan faktor penyebab terjadinya wabah serendah mungkin dengan cara desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan mikroorganisme penyebab penyakit dan menghilangkan sumner penularan.
• Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan, peningkatan lingkungan biologis seperti pemberntasan serangga dan binatang pengerat serta peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga.
• Meningkatkan daya tahan pejamu meliputi perbaikan status gizi,kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi serta peningkatan status psikologis.
2. Pencegaha tingkat kedua

Sasaran pencegahan ini terutama ditunjukkan pada mereka yang menderita atau dianggap menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa tunas) dengan cara diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah serta untuk segera mencegah proses penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi.

3. Pencegahan tingkat ketiga

Bertujuan untuk mencegah jangan sampai penderita mengalami cacat atau kelainan permanen, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau mencegah kematian akibat penyakit tersebut dengan dilakukannya rehabilitasi.

4. Strategi pencegahan penyakit

Dilakukan usaha peningkatan derajad kesehatan individu dan masyarakat, perlindungan terhadap ancaman dan gangguan kesehatan, pemeliharaan kesehatan, penanganan dan pengurangan gangguan serta masalah kesehatan serta rehabilitasi lingkungan.

Daftar Pustaka :

Noor, Nasry. 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : Rineka Cipta

UU RI NOMOR 4 TAHUN 1984 Tentang Wabah Penyakit menular

HARINTA DWI SEPTIANA
E2A009130
MAHASISWA FKM, UNDIP

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS