PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI TB PARU

PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI TB PARU

Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan Masyarakat. Di Indonesia maupun diberbagai belahan dunia. Penyakit tuberculosis merupakan penyakit menular yang kejadiannya paling tinggi dijumpai di India sebanyak 1.5 juta orang, urutan kedua dijumpai di Cina yang mencapai 2 juta orang dan Indonesia menduduki urutan ketiga dengan penderita 583.000 orang. Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru. Pada waktu penderita batuk butir-butir air ludah beterbangan diudara dan terhisap oleh orang yang sehat dan masuk kedalam parunya yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru.

Menurut WHO (1999), di Indonesia setiap tahun terjadi 583 kasus baru dengan kematian 130 penderita dengan tuberkulosis positif pada dahaknya. Sedangkan menurut hasil penelitian kusnindar 1990, Jumlah kematian yang disebabkan karena tuberkulosis diperkirakan 105,952 orang pertahun. Kejadian kasus tuberkulosa paru yang tinggi ini paling banyak terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosio ekonomi lemah. Terjadinya peningkatan kasus ini disebabkan dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian lingkungan tempat tinggal.

Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :
status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin, dan faktor toksis untuk lebih jelasnya
dapat kita jelaskan seperti uraian dibawah ini :
1. Faktor Sosial Ekonomi.
Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan,
lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC.
Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena pendapatan yang kecil
membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.
2. Status Gizi.
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-lain, akan
mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan terhadap penyakit termasuk
TB-Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh dinegara miskin, baik
pada orang dewasa maupun anak-anak.
3. Umur.
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usaia produktif (15 – 50)
tahun. Dewasa ini dengan terjaidnya transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup
lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang
menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-Paru.
4. Jenis Kelamin.
Penyakit TB-Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan
perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan
yang meninggal akibat TB-Paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih
banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB-Paru dibandingkan dengan akibat proses
kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena
merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan
tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB-Paru.

Tindak lanjut hasil PE :

A. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan.
1. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat.
2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus diberikan vaksinasi BCG.
3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
4. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC. Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan social ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.
5. Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur, pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.
6. Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.
7. Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif.
8. Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.

B. Tindakan Pencegahan.
1. Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.
2. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.
3. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.
4. BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan keluarhanya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa tempat pencegahan.
5. Memberantas penyakti TBC pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan pasteurisasi air susu sapi.
6. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karean menghirup udara yang tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya.
7. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala tbc paru.
8. Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok beresiko tinggi, seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen.
9. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaantuberculin test.

PENGENDALIAN, PENGOBATAN DAN PENYULUHAN YANG DILAKSANAKAN PADA PENDERITA TBC.

A. Pengendalian Penderita Tuberkulosis.
1. Petugas dari puskesmas harus mengetahui alamat rumah dan tempat kerja penderita.
2. Petugas turut mengawasi pelaksanaan pengobatan agar penderita tetap teratur menjalankan pengobatan dengan jalan mengingatkan penderita yang lali. Disamping itu agar menunjak seorang pengawas pengobatan dikalangan keluarga.
3. Petugas harus mengadakan kunjungan berkala kerumah-rumah penderita dan menunjukkan perhatian atas kemajuan pengobatan serta mengamati kemungkinan terjadinya gejala sampingan akibat pemberian obat.

B. Pengobatan Penderita Tuberkulosis.
1. Penderita yang dalam dahaknya mengandung kuman dianjurkan untuk menjalani pengobatan di puskesmas.
2. Petugas dapat memberikan pengobatan jangka pendek di rumah bagi penderita secara darurat atau karean jarak tempat tinggal penderita dengan puskesmas cukup jauh untuk bisa berobat secara teratur.
3. Melaporkan adanya gejala sampingan yang terjadi, bila perlu penderita dibawa ke puskesmas.

C. Penyuluhan Penderita Tuberkulosis
1. Petugas baik dalam masa persiapan maupun dalam waktu berikutnya secara berkala memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas melalui tatap muka, ceramah dan mass media yang tersedia diwilayahnya, tentang cara pencegahan TB-paru.
2. Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu kunjungan rumah dan memberi saran untuk terciptanya rumah sehat, sebagai upaya mengurangi penyebaran penyakit.
3. Memberikan penyuluhan perorangan secara khusus kepada penderita agar penderita mau berobat rajin teratur untuk mencegah penyebaran penyakit kepada orang lain.
4. Menganjurkan, perubahan sikap hidup masyarakat dan perbaikan lingkungan demi tercapainya masyarakat yang sehat.
5. Menganjurkan masyarakat untuk melapor apabila diantara warganya ada yang mempunyai gejala-gejala penyakit TB paru.
6. Berusaha menghilangkan rasa malu pada penderita oleh karena penyakit TB paru bukan bagi penyakit yang memalukan, dapat dicegah dan disembuhkan seperti halnya penyakit lain.
7. Petugas harus mencatat dan melaporkan hasil kegiatannya kepada koordinatornya sesuai formulir pencatatan dan pelaporan kegiatan kader.

DAFTAR PUSTAKA
Kusnindar, 1990. Masalah Penyakit tuberkulosis dan pemberantasannya di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokteran, No. 63 hal. 8 –12.
Depkes RI, 2001. Faktor Budaya Malu Hambat Pencegahan Penyakit Tuberkulosis, Media
Indonesia Jakarta.
Depkes RI, 1997. Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan Penanggulangannya. Dirjen P2M dan PLP,
Jakarta.
Arifin, N. 1990. Diagnostik Tuberkulosis Paru dan Penanggulangannya, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Tjandra Y.A, 1994. Masalah Tuberkulosis Paru dan penanggulangannya, Universitas Indonesia.
Jakarta.


HARINTA DWI S
E2A009130
Reguler 1, 2009
MAHASISWA FKM, UNDIP

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar